Wednesday, March 26, 2014



Medio 1990

Anak Sungai Musi adalah ruang bermain kami. Usia lima atau enam tahun kami sudah wajib bisa berenang, kalau tidak alamat celaka. Sebagian besar aktivitas kami di sungai; berenang, bermain bola, berkejaran-kejaran dan sebagainya. Kalau kebanyakan anak-anak bermain dengan basis daratan, kami menjadikan sungai sebagai basis.

Air sungai mengalir lembut ke hilir, meski tak benar-benar jernih tapi kami masih sanggup menyelam di kedalaman, air sungai masih sangat baik. Tak terlalu banyak sampah, paling-paling enceng gondok yang tumbuh di pinggir-pinggir sungai. Mencari ikan bukan perkara susah, memancing, menjaring atau sesekali menangkul[i]. Sungai adalah denyut nadi kami.

Aku tumbuh dalam dekapan hangat anak Sungai Musi.

Medio 1997

Masa-masa SMA yang penuh kisah. Kuhabiskan masa-masa ini di Jogja, kota yang penuh dialektika, wacana silih berganti, dunia yang menawarkan nuansa baru dalam kehidupanku. Anak kampung di tepian Sungai Musi merambah kota pengetahuan.

Kudengar sayup-sayup istilah perubahan iklim, kukenal pula istilah kerentanan ekologis dan prihal-prihal lain yang berkaitan dengan masa depan bumi. Bumi yang kita diami dalam ancaman, begitu sederhananya yang kutahu. Di tepi Kali Progo aku mendapati masa laluku, sayang kali Progo berwarna kecoklatan, membawa pesan penanda penderitaan.

Aku tahu begitu banyak yang serakah, alam diperah tapi lupa untuk menjaga. Bukan hanya di nusantara tapi di pejuru dunia. Kudengar sayup-sayup kisah pilu dari penjuru bumi. Hutan Amazon yang luluh lantak, rimbun hutan Papua disikat demi kepentingan tambang, Hutan Kalimantan dan Sumatera diretas perkebunan yang berkembang ganas. Sabuk “hijau” perkebunan sawit memanjang dari Aceh hingga Lampung.

Ada semacam kesadaran, ada semacam keresahan, tapi belumlah tahu kemana arah resah itu. Baru sekedar mendengar sayup-sayup, belum sampai pada keinginan mengubah keadaan.

Sesekali ibu menelpon dari rumah di Palembang sana, mewartakan kalau Palembang banjir, dulu sekedar lima tahun sekali banjir besar, kini hampir tiap tahun banjir menjalar. Di lain waktu bapak berkisah, kalau kemarau panjang datangnya. Alam kian sulit ditebak sedang manusia menjadi makin tamak.

Medio 2002

Aku mulai terlibat. Masa-masa kuliah membuat kesadaran kian mengental; tak cukup hanya menyaksikan data-data kerusakan hutan atau suhu bumi yang terus merangkak naik. Kuputuskan terlibat lebih dekat. Bersama masyarakat pinggiran hutan di kaki Gunung Slamet tepatnya di Cibun, Sunyalangu, Karang Lewas kami meretas langkah mencoba menjaga hutan tersisa.

Letak Cibun sekitar tiga jam berkendara roda dua dari kampusku di Purwokerto, bukan sebuah desa, hanya perkampungan yang tak lebih dari 35 kepala keluarga. Makanya disebut grumbul bukan dusun atau desa.
Pada fase ini aku mulai sadar masalah rusaknya hutan bukan masalah sederhana; tanam pohon, rawat lalu selesai. Kerusakan hutan begitu kompleks, ada faktor ekonomi, politik, sosial bahkan budaya yang mengitarinya. Kearifan masyarakat tradisional tak akan pernah mampu membendung kuku-kuku tajam ketamakan. Kadang kala negara tak peduli atas kondisi hutan, sedang korporasi makin ganas mencengkeram.

Begitupun masyarakat lokal, mereka bukanlah entitas yang berada di ruang kosong, godaan kekayaan, iming-iming kemajuan membuat mereka rapuh. Hutan pun pelan tapi pasti ikut tersapu.

Pengalaman-pengalaman di Cibun membuatku tahu, konservasi bukan pekerjaan sehari dua, setahun dua, ini pekerjaan panjang yang tak mengenal batas waktu. Kerja-kerja konservasi bukan pula pekerjaan individual, ini menuntut kontribusi banyak orang, bukan hanya rakyat, tapi juga negara bahkan perusahaan.



Cibun adalah potret komunitas pinggiran yang kesehariannya bergantung pada hutan, sayangnya nasib hutan bukan tergantung mereka, melainkan kebijakan dan juga perusahaan.

Lain di pinggiran lain pula di perkotaan. Gaya hidup membuat bumi kian menanggung beban. Semua orang berpacu menggunakan kendaraan perorangan, perilaku membuang sampah tak kunjung membaik, listrik masih dihambur-hamburkan, bahan bakar minyak masih dianggap murah sehingga semena-mena dihabiskan. Aku menyaksikan semua tak hanya dari tayangan tapi menyaksikan sendiri saat sekali-sekali berkegiatan di ibukota atau kota-kota besar lainnya. 

Ekonomi negeri mulai tumbuh pasca krisis 1998, tapi di lain sisi perilaku kita tak kunjung ramah pada alam. Hidup makin konsumtif, itu cerminan masyarakat perkotaan.

Aku sendiri bukan ruang kosong yang menyaksikan semua itu dari kejauhan. Aku adalah bagian dari generasi yang pola hidupnya konsumtif dan tak bijak itu. Walau resah tapi aku sendiri kadang tak kuasa menghindar dari determinasi budaya hura-hura yang tak ramah alam itu.

Medio 2004

Kesempatan membandingkan. UNEP (United nations for environment Programme) dan Bayer mengirimku ke Jerman sebagai duta muda lingkungan. Sebuah kesempatan untuk belajar sekaligus membandingkan bagaimana Jerman menata ruang hidup mereka.

Terkagum-kagum aku menyaksikan betapa serius negeri ini menata ruang hidup mereka. Lingkungan adalah prioritas. Pembangunan bekerlanjutan bukan isapan jempol belaka. Perilaku masyarakatnya pun mengagumkan, mereka menempa diri untuk hidup menghargai alam.

Fakta itu tak membuatku berkecil hati sebagai anak negeri. Toh, Jerman memang sudah lebih dulu memahami teknologi dan dampak perubahan iklim. Mereka terancam karena hutan mereka taklah seluas nusantara atau Brazil. Perilaku mereka bukan tanpa alasan dan latar belakang. Di banyak sisi, kadang aku berpikir negara maju berstandar ganda. Mereka berhati malaikat di negeri sendiri tapi kadang berwajah “lain” di negara berkembang. Ah, sudahlah.

Apapun persepsiku tapi nyatanya yang kulihat di negeri ini adalah sebuah sisi positif dari sebuah peradaban. Tak ada salahnya kita mereplika kebijakan dan perilaku mereka.

Di hari-hari terakhir di Jerman, aku terpaku di atas Rhein yang mahsyur itu. Tak lebih dari lima spesies ikan saja yang ada disana. Tapi mereka menjaganya setengah mati, bandingkan saja dengan parit-parit kecil di Palembang atau Riau atau Jambi, ada puluhan jenis ikan disana, tapi kita kerap abai menjaganya.



Medio 2007

Sebuah pilihan jalan ditentukan.  Usai kuliah aku bekerja sebagai research writer di sebuah televisi swasta. Hari-hari berisi kepadatan, dari pagi hingga dini hari. Di tengah rutinitas kuputuskan bergabung menjadi relawan di organisasi lingkungan dunia, logo pandanya sudah menjadi ikon kerja-kerja penyelamatan keragaman ekosistem, yup WWF. Menjadi relawan WWF adalah sebuah kisah yang menentukan.

Bukan pekerjaan besar yang kulakukan sebagai relawan, di sela-sela libur kerja aku menjadi public educator bersama rekan-rekan relawan lainnya. Kami mendatangi sekolah-sekolah, kami berbagi kisah, kadang mencoba saling menginspirasi untuk mengambil peran menyelematkan bumi.

Bukan dengan kerja-kerja besar melainkan kerja-kerja sederhana yang bisa dilakukan siapa saja. Tidak harus dimulai dengan banyak orang cukup dimulai dari diri sendiri. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, beralih ke kendaraan umum syukur-syukur mau gowes dari rumah ke tempat kerja. Menghemat listrik, tak membiarkan colokan nancap padahal tak digunakan, mematikan lampu saat tak diperlukan, pendingin ruangan tak harus sedingin di kutub, sampah bisa dimanfaatkan tak harus dibuang melainkan dimanfaatkan ulang.

Dari sini aku mengenal sosok-sosok luar biasa di WWF sana. Mas Suhud yang kerap bersepeda ke kantor, sepedanya dilipat lalu ditaruh di dalam ruang kerjanya. Mas Aulia yang cinta mati dengan segala sesuatu yang berbau konservasi kelautan. Mba Rini yang berjibaku mendorong pendidikan lingkungan dimana-mana. Atau Mba Verena yang menjadi motor earth hour di Indonesia. Banyak sosok-sosok yang menginspirasi di “rumah besar” bernama WWF itu. Mereka tak sekedar bekerja tapi menghayati tiap langkahnya.



Tak begitu lama aku menjadi relawan, setahun dua saja, tapi semua itu menjadi penentu jalan hidupku. Kutasbihkan hidup untuk menjadi green life style learner. Mencoba berperilaku hijau. Sebisa mungkin berjalan kaki kalau tidak ya naik sepeda, kalau memang berat ya naik bus atau angkot saja. Memastikan listrik tak menyala saat tak digunakan. Dan banyak lagi hal-hal kecil yang bagi sebagian orang terlalu remeh untuk dilakukan. Toh tak berdampak banyak pada perbaikan nasib bumi.

Dulu aku juga berpikir begitu, mengubah dunia harus dengan hal-hal besar. Tapi itu tak selamanya benar. Kita bisa memulainya dari diri sendiri dan dari hal-hal sederhana. Bayangkan dampaknya jika separuh manusia di dunia mencoba bergaya hidup hijau. Betapa besar kita bisa mereduksi emisi karbon. Dan sebagainya dan sebagainya J

Saat Ini....

Disini kini aku berdiri. Sejak 2008 kuputuskan berkiprah di dunia LSM lingkungan. Makassar, Aceh, Jakarta dan kini Jambi telah menjadi basis kerjaku. Isu konservasi menjadi hal sehari-hari, prihal pemberdayaan komunitas juga telah menjadi konsumsi harian.

Kini aku menjadi guru rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Mencoba belajar bersama dengan anak-anak disini; mengeja aksara, melafalkan angka-angka dan saling berkisah tentang alam, tentang kehidupan dan tentang masa depan.



Orang Rimba pernah berkata “Halam kamia la rubuh”, alam telah runtuh. Ujaran ini datang karena keresahan mereka mendapati hutan mereka yang dijarah, sungai mereka yang mengeruh dan kehidupan mereka yang tak lagi mudah. Begitu pun bagi kita semua, bukan tak mungkin bumi kita ini akan benar-benar runtuh karena tak sangup lagi menanggung keserakahan manusia. Semoga tidak ! Berbuatlah untuk mencegahnya....
  




[i] Menangkul adalah cara menangkap ikan dengan menggunakan jaring yang snagat rapat dan empat ujung jaring dilekatkan ke bambu yang membentuk kerucut. Ujung kerucut dilekatkan ke bambu ebsar, sehingga bisa diangkat ke darat. Biasanya banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau.

Keterangan Foto :

Foto 1, Ilustrasi kehidupan di Sungai Musi/huzer apriansyah
Foto 2, Keadaan Jalan ke Grumbul Cibun/huzer apriansyah
Foto 3, Saat penulis (paling kanan) berada di pinggir Sungai Rhein/Koleksi pribadi
Foto 4, Berperahu salah satu alat transportasi ramah lingkungan/koleksi pribadi
Foto 5, Penulis (tengah) bersama dengan anak-anak rimba/heriyadi asyari (Warsi)

Diikutsertakan dalam lomba blog WWF-Inodnesia dan Blogdetik





0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts